Rabu, 17 November 2010

Menyusuri Jejak Keganasan Merapi

13-14 November 2010

















Ada sebuah nasehat yang pernah aku dengar, “Takdir itu adalah ketetapan yang menjadi kehendakNYA. Tidak ada seorangpun punya daya untuk menolaknya”.

Nasehat itu terngiang kembali di telingaku saat berada di lokasi bencana Gunung Merapi.

“Inilah takdir”, bisik hatiku.
Bagaimana tidak? Desa yang aku datangi itu, desa Kaliurang, Magelang, adalah desa yang dikenal makmur dengan ribuan hektar kebun salak pondoh. Dan kini desa itu menjadi desa mati berwarna abu-abu kelam yang menyedihkan. Sejak meletusnya Gunung Merapi, desa tersebut ditinggalkan oleh seluruh warganya yang dievakuasi ke pengungsian. Desa dalam zona 11 km ini dinyatakan sebagai salah satu lokasi bahaya yang harus dikosongkan. Hanya ada beberapa orang yang ditugaskan untuk menjaga dan memantau desa ini. Itupun setelah aktivitas Merapi dinyatakan sudah menurun. Aku dan beberapa teman berkesempatan mengunjungi mereka untuk mengantarkan bahan makanan dan air mineral. Karena disana air bersih pun telah tercemar abu.

Menyusuri sepanjang jalan desa membuat hati miris. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna abu-abu. Rumah-rumah, jalanan, sungai, ribuan hektar pohon salak, semuanya tertutup abu tebal. Beberapa orang terlihat membersihkan jalanan, beberapa orang lainnya terlihat nekat memanen salak-salak dari pohonnya.

Sementara itu, dari atas jembatan Kali Bebeng dapat dilihat luapan lumpur dan batu-batu besar yang hanyut terbawa arus lahar dingin. Melihatnya, membuat aku merasa sangat kecil berada dalam luasnya alam raya yang menjadi kuasaNYA. Apalagi sayup-sayup gemuruh gunung Merapi bisa terdengar dari sini.

Pemulihan pasca bencana tentu membutuhkan kerja keras dan sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemulihan ekonomi, sarana prasana, serta trauma psikis layak mendapat prioritas.
Kepedulian para relawan yang bahu membahu menyentuh para korban, pun sangat membesarkan hati. Mereka menghibur, melayani, menemani, dan memberikan cintanya.

Semoga bencana ini segera berlalu, dan berganti dengan anugerah. Karena anugerah dan bencana adalah sama-sama kehen
dakNYA...


Rekam jejak lainnya :


































































































































Selasa, 27 April 2010

UnderCover


Sambil menikmati ikan bakar, seorang teman baikku bercerita.
”Aku kemarin telah melakukan kebodohan”, katanya mengawali cerita.
”Saat aku dalam perjalanan pulang, tiba-tiba aku ngerasa salah satu ban mobilku kempes. Sambil tetap menjalankan mobil perlahan, aku membuka jendela berharap melihat ada tempat tambal ban. Tapi jalanan sepi, dan aku mulai takut!.” lanjutnya.
”Apalagi kemudian datang dari arah belakang seorang yang naik motor dan tampak melambai-lambaikan tangannya padaku. Dia berteriak memberi tahu kalau ban belakangku kempes. Orang itu minta aku berhenti dan menawarkan diri untuk membantuku”, katanya dengan mimik serius.

”Sekilas, aku lihat penampilannya. Berpakaian ala kadarnya, bersandal jepit, dan terlihat seperti bukan orang baik-baik. Buru-buru aku tutup jendela, dengan rasa curiga dan ketakutan yang makin menjadi. Aku berpikir dialah orang yang sengaja membuat ban mobilku bocor agar ia bisa melaksanakan niat jahatnya” katanya sambil terus mencocolkan ikan bakar ke sambal kecap di hadapannya.
”Beruntung, aku akhirnya bisa sampai di tempat keramaian. Aku segera menepi dan menghentikan mobilku. Eh, orang yang naik motor itu juga ikut berhenti dan menghampiriku. Saat itu aku sudah siaga, jika ada apa-apa aku akan berteriak sekencang-kencangnya” katanya.

Singkat cerita, akhirnya temanku mengijinkan orang yang membuntutinya itu menolong. Tentu saja setelah dia bisa mengendalikan rasa curiga dan ketakutannya.

Ia pun melanjutkan ceritanya...
“Saat ban serep selesai terpasang, aku ucapkan terimakasih sambil menyodorkan uang tiga puluh ribu. Aku berharap orang itu segera pergi. Tapi ternyata orang itu menolaknya seketika. Makin aku paksa dia menerimanya, dia makin tegas menolak!. Dan my God! kamu tahu, ternyata siapa orang itu?” katanya sambil menyorongkan mukanya ke depan.
“Orang itu memperkenalkan dirinya. Ternyata, dia adalah pemilik salah satu restoran di daerah sana! Dan aku diundangnya mampir untuk makan dan minum disitu!”, temen baikku itu mengakhiri ceritanya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.

Seketika, aku jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu.

Saat itu kantorku sedang me-launching satu cluster baru. Kami menyelenggarakan event besar yang meriah. Artis ternama ibukota, pesta kembang api, dan aneka macam makanan lezat disiapkan untuk para undangan.
Di tengah kemeriahan dan hiruk pikuk acara itu, mataku tertuju pada seorang bapak yang terlihat berdiri sendirian di depan gambar-gambar arsitektur yang terpajang. Penampilannya sangat sederhana, hanya mengenakan kaus usang dan sandal rumahan. Sangat berbeda sekali dengan penampilan para undangan lainnya, yang rapi bahkan cenderung glamour. Tak heran jika tak tampak seorangpun sales yang menemani dan memprospeknya.

Aku yang saat itu bertugas sebagai panitia, terus memperhatikan bapak tua itu dari kejauhan. Dan saat melihat ia seperti kebingungan, aku bergegas menghampirinya.
”Selamat malam pak, mungkin ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku kala itu.
Bapak itu lalu menanyakan beberapa hal tentang proyek yang sedang dilaunching. Tidak sampai setengah jam aku memberikan penjelasan, tiba-tiba ia menarik dompet dari sakunya, mengeluarkan satu kredit card, dan menyerahkannya padaku.
”Oke, saya beli kavling tanah yang pojok dekat taman. Silahkan gesek credit card ini sebagai tanda jadi”, katanya sambil tersenyum. Sungguh, aku merasa surprais sekali!
Dan kamu tahu kawan, Bapak yang terlihat sangat sederhana itu, malam itu membeli sebuah kavling tanah senilai dua milyar!

Sebuah pelajaran berharga aku dapatkan. Jangan pernah menilai sebuah buku hanya dengan melihat sampulnya
!

Minggu, 07 Februari 2010

Saat Malaikat Menyambut Gus Dur


(Tulisan ini hanyalah imajinasi yang timbul sebagai ekspresi kekaguman dan rasa hormatku pada sosok yang begitu luar biasa, KH. Abdulrahmad Wahid yang lebih populer disapa Gus Dur)

“Selamat datang, manusia terpilih!” barangkali itu kalimat pertama yang diucapkan malaikat saat menyambut Gus Dur di alam kubur.

“Sebelum kamu memasuki kehidupan yang kekal, aku akan menjalankan tugasku dari Sang Pemilik Hidup, untuk menanyakan beberapa hal sebagai pertanggungjawabanmu selama singgah di kehidupan fana. Kamu tidak akan bisa mengingkari, karena yang menjawab semua pertanyaanku adalah matamu, telingamu, mulutmu, tanganmu, kakimu, bukan ragamu” Malaikat menjelaskan detil apa yang menjadi tugasnya.

”Bersiaplah!”

”Hay, mata! Apa saja yang kau lihat selama di dunia?”

”Wahai malaikat, meski aku diciptakan sebagai alat untuk melihat, tapi pemilikku tidak begitu saja mempercayaiku. Baginya, apa yang terlihat olehku belum tentu kebenaran yang sesungguhnya. Ia lebih banyak melihat dengan mata hatinya yang ia percaya, sehingga ia bisa melihat dengan sangat tajam. Karenanya ia bisa bersikap bijak, bertindak adil, menjunjung integritas, dan tidak silau oleh duniawi yang terlihat olehku.

”Mata, aku mencatat pengakuanmu!”.

”Hay, telinga! Apa saja yang kau dengar selama di dunia?”

”Wahai malaikat, aku telah diperlakukan sesuai fungsiku. Aku yang disebelah kiri, dan aku yang disebelah kanan sama-sama mendengar. Bukan seperti kebanyakan orang yang hanya mendengarku dari kanan dan lalu membuangnya dari sebelah kiri. Oleh karena itu pemilikku bisa mendengar dengan sangat tajam. Rintihan lirih rakyat kecil dan desah napas yang terhimpitpun dapat nyaring terdengar. Dia bisa menyaring dengan benar sehalus apapun bisikan-bisikan yang beredar. Dan dia akan menutup rapat-rapat diriku saat mendengar bujuk rayu tikus-tikus berkepala hitam, recau pengacau, dan gigau para pemburu kemilau dunia. Wahai malaikat, itulah sebenar-benarnya pengakuanku!”.

”Telinga, aku mencatat pengakuanmu!”.

”Hay mulut, kini giliranmu! Apa saja yang telah kau ucapkan selama di dunia?”

”Wahai malaikat, tidakkah kau tahu, banyak manusia di dunia sana yang kini merindukan apa yang terucap dariku?Karena selama di dunia aku dipakai pemilikku menyerukan segala sesuatu sesuai dengan idealismenya yang tak terpatahkan, pemikirannya yang tajam, serta prinsipnya yang tak tergoyahkan. Aku berani berkata yang benar memang benar adanya, dan aku tak segan berteriak lantang pada kezaliman. Aku pernah mengucap perkataan yang mungkin membuat muka sebagian kecil orang merah padam, namun aku lebih sering mengucap perkataan yang menyejukkan bagi sebagian besar orang. Apa yang kuucapkan kadang dicaci, namun lebih sering dipuji. Apa yang keluar dari diriku banyak menjadi inspirasi, ditunggu, dan dirindukan!
Wahai malaikat, tidakkah kau percaya pengakuan yang terucap dariku ini?”


”Mulut, aku mencatat pengakuanmu!”

”Hay, tangan! Mengakulah, apa saja yang kau lakukan selama di dunia?”

”Wahai malaikat, selama di dunia aku merengkuh banyak hal yang berserak hingga mereka berkumpul dan bersatu dalam kedamainan. Dengan kedua telapakku aku menggenggam segala perbedaan dan menjadikannya harmoni kehidupan. Aku selalu mengulurkan diriku bagi mereka yang terpinggirkan, menjabat erat semua yang menjadi kawan ataupun lawan, namun aku akan menutup erat telapakku bagi segala upeti dan umpan. Diriku sebelah kanan nyaris selalu berada di atas hingga banyak orang menyebut pemilikku seorang dermawan.
Wahai malaikat, semoga tak ada yang terlewat dalam catatanmu tentang pengakuanku ini”.

”Tangan, aku mencatat pengakuanmu!”

”Hay, kaki! Kemanakah kau melangkah selama di dunia?”

”Wahai malaikat, selama di dunia diriku telah melangkah panjang menelusuri setiap sudut kehidupan. Beragam negara dan benua telah aku jelajahi. Aku banyak berkeliling mengunjungi para sanak kerabat untuk menjalin tali silahturahmi. Langkahku pun tak pernah henti mengantar pemilikku mensyiarkan kebaikan dan kebajikan. Aku lebih sering menyusuri jalanan tempat kaum papa tinggal, dan tanpa lelah aku menapaki lorong-lorong temaram kehidupan untuk memberikan terang. Aku lebih sering berjalan kearah orang-orang yang terzalimi, dan aku tak pernah gentar berdiri terdepan memerangi para pemuja duniawi.
Wahai malaikat, itulah sejujur-jujurnya pengakuanku!”.


”Kaki, aku telah mencatat pengakuanmu!”.

(Malaikat telah menyelesaikan tugasnya, dan lalu bersiap pergi. Namun ia kembali mengucapkan kalimat terakhirnya.)

”Wahai manusia terpilih, aku telah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku. Aku telah mencatat semuanya, tidak kurang dan tidak lebih. Akan ada perhitungan yang menimbang segala amal perbuatan berdasar pengakuan itu.
Manusia terpilih, aku tak tahu apa yang kelak kemudian menjadi takdirmu. Namun aku punya keyakinan kuat tentang dirimu, insyaallah Tuhanmu telah menyiapkan sebaik-baiknya surga bagi dirimu, nanti dan selama-lamanya... Aku pun akan turut berdoa bagimu, manusia baik!”.

(Gus Dur, tokoh demokrasi dan pluralistik, ia telah berpulang meninggalkan dunia fana pada 30 Desember 2009. Meski sosok kharismatiknya tak kan pernah lagi kita lihat, namun semangat, prinsip dan idealismenya dalam memperjuangkan demokrasi, menegakkan keadilan, mengharmoniskan perbedaan, serta mengasihi kaum terpinggirkan, tetap menjadi inspirasi dan tauladan bagi semua anak bangsa yang memiliki nurani. Selamat jalan orang baik, engkau telah menyiapkan sendiri jalan menuju surga dengan kebajikan dan amal baik yang senantiasa engkau tebar selama persinggahanmu di dunia ini).




















































Kamis, 21 Januari 2010

Inovasi Pak Joni : Es Combor vs Es Campur




Pernah merasa handphone yang baru dipake beberapa bulan sudah terasa jadul alias ketinggalan jaman? Pernah merasa bingung memilih operator telepon mana yang akan dipakai, karena semuanya menawarkan paket yang menguntungkan, hingga akhirnya kamu harus menenteng dua, tiga atau bahkan lima handphone? (Hehe... gue banget nih! Kamu juga pasti kann...?)
Dalam industri global seperti sekarang ini, persaingan antar produsen memang menjadi nyaris tanpa batas. Posisi konsumenpun semakin diuntungkan, tapi sekaligus dibingungkan. Diuntungkan karena konsumen makin dimanjakan dengan aneka rupa penawaran yang menggiurkan, dibingungkan karena makin sulit menentukan pilihan.

Kancah persaingan telah mendesak para penyedia barang dan jasa untuk terus melahirkan produk-produk inovatif yang menarik pasar sekaligus menggeser atau minimal mampu bersaing dengan para kompetitornya.
Inovasi, kini menjadi kata yang amat penting. Produk barang maupun jasa makin cepat menjadi usang dan ketinggalan jaman karena begitu cepatnya produk-produk baru lahir. Para pelaku pasar yang ‘telmi’ pasti akan tergilas. Sebaliknya yang kreatif dan inovatif pasti akan berkibar.

Tapi, bukankah inovasi itu rumit dan mahal? Hmmm... siapa bilang?

Pak Joni, seorang penjual es sejak belasan tahun lalu, hingga kini usahanya tetap eksis bahkan makin berkembang. Jumlah pelanggannya terus bertambah, dan tentu saja omzetnya pun terus melambung.
Barangkali Pak Joni tak pernah mengenal kata Inovasi. Tapi itulah yang sudah dilakukannya, sehingga usahanya dapat terus berkibar.

Aku adalah salah satu pelanggan setianya. Dulu setiap pulang sekolah, aku selalu menanti kemunculannya lewat depan rumah. Hingga kini, setiap pulang kampung aku tak pernah melewatkan kuliner ke kedai Joni.
”ES JONI” menjadi merk nya dari dulu hingga sekarang.
Aku kagum dengan cara jualan Pak Joni ini. Bayangkan, lebih dari dua puluh tahun dia dapat terus bertahan, bahkan makin berkembang.

Dulu Pak Joni menjajakan jualannya keliling kampung sambil mendorong gerobak kecilnya. Para pelanggannya adalah anak sekolahan yang menghabiskan sisa uang saku. Aku ingat betul, dulu es Pak Joni hanyalah es batu yang dipasrah halus yang diberi gula dan santan. Orang menyebutnya ’Es Combor’. Lalu dia menambahkan menunya dengan tape ketan hitam, yang kemudian ditambah dengan roti.

Sekarang, Pak Joni tidak lagi berjalan keliling. Ia sudah punya kedai kecil di lokasi yang sangat strategis, yakni di depan stadion olahraga kota Banyuwangi. Racikan es nya pun sudah jauh berubah, dan jauh lebih enak. Beberapa bahan seperti cendol, alpukat, kelapa muda, cao, tape singkong, kolang kaling, dan susu menjadi andalan ”Es Campur Joni” yang banyak digemari itu.

Pak Joni juga menjamu para pelanggannya dengan aneka jajanan yang tersaji di meja. Jajanan itu adalah titipan dari para pemasok, bukan buatan Pak Joni sendiri. Langkah yang cerdik : tak perlu modal, dapat persen keuntungan, dan juga bisa menambah varians produknya. Pak joni sendiri bisa fokus pada core business nya.
Tak hanya itu, Pak Joni juga bersinergi dengan beberapa kawan pedagang lainnya. Di sebelah kedainya ada warung bakso dan mie pangsit yang juga cukup terkenal. Bisa ditebak, selain para pelanggan setianya, pelanggan pak Joni adalah para pelanggan bakso dan mie pangsit tersebut! Luar biasa kan?

Kini, Pak Joni mempekerjakan beberapa orang untuk membantunya berjualan. Ia pun bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya yang tinggal di Solo.

Inovasi Pak Joni tidaklah serumit teori yang diajarkan para dosen atau ditulis oleh para pakar. Inovasi Pak Joni lahir dari kemauan untuk terus maju dan berkembang. Desakan untuk bisa tetap bertahan memaksanya berpikir kreatif memunculkan ide dan gagasan. Dan kini, meski Pak Joni tetap memilih jalan hidupnya sebagai penjual es, tapi ia menjadi penjual es yang inovatif!

Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua!

Senin, 30 November 2009

Lelaki Itu Membuatku Menitikkan Air Mata



Menunggu beberapa jam saat esok hari tiba begitu menggelisahkan. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan lelaki yang hanya kukenal dari suaranya itu. Beragam tanya memenuhi kepala. Benarkah besok ia akan menemuiku sesuai janjinya? Seperti apakah dia? Masih muda, atau seorang lelaki tua? Benarkah dia orang baik dan bisa dipercaya? Tidakkah dia hanya basa-basi yang kemudian akan menghilang? Aku hanya berharap dan terus berdoa…

Saat yang kunanti pun tiba. Aku datang tepat waktu, meski sebelumnya harus beberapa kali tersasar mencari tempat yang lelaki itu tentukan, sebuah Gereja Katolik di desa kecil bernama Krian, sekitar satu jam dari kota Surabaya.
Gereja itu terlihat lengang, sepi! Tak terlihat seorangpun di halaman gereja, tidak juga di setiap sudutnya. Baru setelah aku masuk agak kedalam, terlihat seorang pria muda sedang berbicara dengan empat anak remaja di salah satu ruangan. Sepertinya mereka sedang berdiskusi tentang sesuatu.

Aku menghampiri mereka, dan mengatakan ingin menemui seseorang yang telah berjanji menungguku di gereja itu. Aku sebutkan sebuah nama. Dan betapa kecewanya aku, saat pria muda itu menjelaskan tidak pernah mendengar dan mengenal nama yang kusebutkan.
”Sudahlah Anita, jangan berharap lagi. Relakan saja, meski itu sangat berarti bagimu. Jaman sekarang, mana ada orang yang memiliki kejujuran dan ketulusan seperti yang kamu yakini ada pada lelaki itu” bisik salah satu sisi hatiku. Namun sisi hatiku yang lain meyakinkan aku bahwa lelaki itu benar-benar orang yang jujur. Aku lalu mencoba menghubunginya lagi lewat handphone.

Tiga kali panggilanku tak terjawab. Aku mulai putus asa. Akupun bersiap melangkah pulang dengan harapan yang terbang melayang. Namun, aku mencoba meneleponnya kembali...
”Ya, saya sudah di gereja Krian!” terdengar suara lelaki itu menjawab teleponku.
Deg! Hatiku berdesir. Benarkah?
Aku mengitarkan pandanganku kesekeliling gereja, hingga akhirnya mataku tertuju pada sosok lelaki yang tergopoh-gopoh memasuki halaman.

”Maaf saya terlambat!” ucapnya dengan wajah berbinar. Disekanya peluh yang mengalir di pipinya yang legam, sambil tangannya mengipasi wajahnya yang terlihat kepanasan. ”Ini barangnya, Mbak. Saya menemukannya di pinggir jalan, dan saya menyimpannya hingga Mbak menelepon ke nomor handphone ini” ceritanya dengan senyum tulus yang terus terpancar.
”Wahhh... terimakasih sekali pak. Handphone ini sangat berarti bagi saya, karena ratusan nama dan nomer penting ada disini. Untung ada orang baik seperti Bapak yang menemukannya”, kataku seraya menepuk pundak tuanya.

”Gak apa-apa, dibawa saja Mbak. Silahkan...silahkan....”, kata laki-laki itu seraya menyerahkan sebuah handphone kepadaku, masih dengan senyum dan wajah berbinarnya. Jelas sekali ada kejujuran dan ketulusan di hatinya.

Seketika itu ada sesuatu yang mengalir sejuk dalam rongga dadaku. Sesuatu yang melegakan, sangat meneduhkan....

“Bapak punya telepon yang bisa saya hubungi, barangkali suatu saat saya lewat sini saya bisa bertemu Bapak lagi?” tanyaku.
“Ada...ada.. Mbak!” jawabnya sambil merogoh kantong bajunya.
Dan ya Tuhan, ia mengeluarkan sebuah benda kecil yang terbungkus plastik kumal yang diikat erat dengan karet gelang. Dibukanya ikatan dan pembungkusnya dengan sangat hati-hati seolah didalamnya ada benda yang sangat berharga. Tak lama terlihat olehku sebuah handphone kecil usang. Ia lalu dengan bangga menunjukkannya padaku, sambil menyebutkan nomornya.

Hari itu, seorang lelaki tua bernama Pak Yatman, memberiku inspirasi dan pelajaran hidup yang amat berharga. Ia hanyalah seorang tukang becak yang sangat sederhana. Barangkali penghasilannya hanya cukup untuk makan hari itu saja bagi dia dan keluarganya. Terlihat ia sangat girang saat menerima beberapa lembar rupiah dariku sebagai ucapan terimakasih. Namun kekayaan hati dan jiwanya sungguh luar biasa.

Pak Yatman, ia menemukan handphone ku yang terjatuh tanpa sengaja saat aku melakukan perjalanan dari Surabaya menuju Trawas. Dan ia memilih untuk menyimpan dan mengembalikannya padaku, dibanding memilikinya atau bahkan menjualnya.

Kawan, terimakasih kamu telah membaca tulisanku ini hingga disini. Karena dengan begitu, kalian semua bisa ikut mengenal sosok Pak Yatman yang mengagumkan itu.
Sungguh menyejukkan hati, saat ketulusan dan kejujuran menjadi hal yang kian langka, aku justru menemukannya pada diri Pak Yatman. Sungguh beruntung dan bersyukurnya aku bisa mengenal Pak Yatman, seorang yang kaya raya hati dan budinya. Air mataku pun sempat menitik mengaguminya...



















(Pak Yatman, my inspiration)





Kamis, 05 November 2009

Pay it Forward! Merangkai Rantai Kebaikan.


Pernah nonton film ini? Film produksi tahun 2000 an yang menurutku sangat sederhana namun luar biasa. Pay it Forward! Sebuah ide orisinil dari seorang anak berumur sebelas tahun yang bisa merubah dunia. Tiba-tiba saja aku teringat film ini, saat dalam obrolan ringan makan siang, seorang teman mengajak diskusi tentang bagaimana hidup itu harus bisa membawa manfaat bagi orang lain (uffffhh….! Ini sih bukan obrolan ringan, justru dalem bangeetttt).

Film yang disutradarai oleh Mimi Leder itu bercerita bagaimana kebaikan dapat dirangkai menjadi rantai yang tak terputus yang dapat dirasakan oleh banyak orang, bahkan bukan mustahil oleh seluruh manusia di dunia ini.
Pay it Forward alias Bayar di Muka, lahir dari pemikiran sejati Trevor, seorang murid sekolah dasar yang diberi tugas oleh gurunya untuk membuat ide yang dapat merubah dunia. Trevor mempresentasikan idenya, bahwa kita dapat membuat rantai kebaikan yang tak terputus jika kita tak berharap balas budi atas kebaikan yang pernah kita lakukan.

Caranya sederhana, Trevor memilih 3 orang untuk ditolongnya. Salah satunya seorang gelandangan yang kemudian diberinya makan dan pakaian. Saat gelandangan itu bilang terimakasih dan bertanya bagaimana membalas budinya, Trevor hanya menjawab “Pay it Forward” dan minta gelandangan itu untuk membalas budi dengan cara berbuat baik/menolong 3 orang yang lainnya. Kemudian gelandangan itu mencuci mobil Ibu Trevor tanpa diminta, dan Ibu Trevor membalas budi dengan melakukan Pay it Forward dengan mengunjungi ibunya (nenek Trevor) yang selama ini kurang diperhatikannya. Hubungan keduanya kemudian membaik.
Nenek Trevor yang bahagia kemudian menolong seorang pemuda yang sedang tertimpa masalah. Saat pemuda itu bertanya harus membalas dengan apa, sang nenek itu hanya menjawab “Pay it Forward”.
Lalu pemuda itu menolong seorang gadis kecil dengan merelakan kartu antriannya di rumah sakit sehingga gadis itu dapat giliran lebih awal. Bapak sang Gadis yang ternyata seorang kaya raya merasa sangat terkesan dengan kebaikan pemuda itu dan ingin membalas budi. Namun si pemuda menolaknya dan hanya berkata, “Pay it Forward”. Dalam perjalanan, sang Bapak melihat seseorang mobilnya mogok di pinggir jalan. Iapun menolongnya dengan memberikan mobil jaguarnya kepada orang tak dikenalnya itu, sambil berkata, “Pay it Forward!”. Dan ternyata orang tersebut adalah seorang jurnalis televisi. Karena rasa penasarannya, iapun menyelidiki apa dan darimana asal usul ‘Pay it Forward’. Dia pun meruntut mundur semua rangkaian peristiwa hingga ia bisa menemukan Trevor sebagai penggagasnya. Sayang, saat Pay it Forward mulai dikenal banyak orang, Trevor meninggal dunia. Ribuan orang yang telah merasakan kebaikan dan pertolongan dari rantai Pay it Forward pun berduka. Dan Trevor kini dikenang sebagai bocah kecil luar biasa yang telah merubah dunia.

Kebaikan memang selayaknya dibalas dengan kebaikan. Namun jika kita telah berbuat kebaikan, sungguh mulia jika kita tidak berharap balas budi darinya, melainkan menginginkan kebaikan itu diteruskan ke orang yang lainnya. Jika kita semua bersama-sama melakukan ’aksi’ Pay it Forward seperti itu, hmmm.. betapa indah dan panjangnya rantai kebaikan yang bisa dirangkai. Apalagi dalam kondisi negeri kita yang serba carut marut seperti saat ini. Dan, aku yakin, suatu saat rantai kebaikan itu pasti akan kembali pada diri kita, entah kapan dan entah bagaimana proses dan wujudnya nanti.

Nah kawan, tunggu apalagi? Cobalah lihat di sekeliling kita... Kita bisa mulai memilih siapa yang akan kita tolong dan kita berikan kebaikan. Tidak penting berapa jumlah orangnya, yang terpenting adalah kita bersama-sama mulai menggulirkan satu kebaikan dan menjadikannya rantai panjang yang tak terputus... Dan, bayangkan apa yang akan terjadi!



Kamis, 29 Oktober 2009

Andai Poliandri Dibolehkan, Maukah Para Pria Dipoliandri?



Sejak diberitakan terbentuknya Club Poligami, ‘tema’ Poligami makin favorit menjadi perbincangan dan perdebatan. Masalah sensitif antar gender itu sampai kapanpun mungkin akan tetap menjadi kontraversi yang tak berkesudahan.

Poligami memang dibolehkan dalam Islam, dengan syarat MAMPU ADIL. Lantas, ADIL yang bagaimana yang disyaratkan itu? Adil, menurut kamus Bahasa Indonesia berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak. Adil dalam ilmu akuntansi sama dengan balance, yang artinya seimbang. Seorang akuntan tidak akan meng-closed Neraca nya jika ada selisih walau satu rupiah pun pada account pasiva dan aktiva, karena Neraca itu mutlak harus balance, seimbang!. Adil dalam ilmu sipil atau arsitektur barangkali identik dengan presisi, yang artinya tepat, tidak boleh kurang juga tidak boleh lebih. Untuk mencapai presisi diperlukan perhitungan dengan ketelitian tingkat tinggi, karena meleset sedikit saja dapat berpengaruh pada struktur bangunan.

Lantas, jika Adil yang disyaratkan untuk berpoligami itu benar artinya adalah sama berat, seimbang, tepat, mampukah manusia melakukannya?
Kita bukan malaikat, bukan juga Rosul. Kita hanyalah manusia biasa yang punya akal pikiran, akal budi, perasaan, hati, dan naluri. Kita hanyalah manusia biasa yang juga punya ambisi, emosi, napsu, dan ego pribadi. Dan semuanya itu yang mempengaruhi kehidupan kita, bahkan dalam setiap helaan napas dan jejak langkah kita.
Dengan segala aset pribadi yang melekat itu, kira-kira mampukah manusia (kaum pria) melakukan adil dalam berpoligami? Hmmm... rasanya perlu perenungan mendalam untuk mendapatkan kejujuran semurni embun pagi. Dan.... kejujuran itu hanya dimiliki oleh hati nurani!

Bicara soal kejujuran, ada kenyataan menarik yang kamu semua perlu tahu. Singkat cerita, aku tanpa sengaja telah melakukan survey informal berkaitan dengan poligami. Caranya, dalam setiap kesempatan diajak ngobrol soal poligami, satu pertanyaan yang tak pernah aku lewatkan aku tanyakan para teman pria adalah, ”Andai poliandri dibolehkan, maukah kamu dipoliandri?” Jawabannya adalah : seratus persen mereka menjawab ”TIDAK”. Dan aku selalu lanjut bertanya, ”Kenapa?” Untuk pertanyaan kali ini mayoritas mereka hanya diam, entah tak ingin menjawab atau tak kuasa menjawab. Biasanya, aku yang melanjutkan dengan kalimat seperti ini, ”Kamu nggak perlu menjawab, karena aku rasa aku tahu jawabannya. Kamu tidak mau di-poliandri karena kamu nggak mau berbagi cinta. Kamu tidak mau diduakan. Kamu ingin memiliki dan dimiliki seutuhnya. Benar begitu?” Bisa dipastikan para pria itu akan tersenyum sambil menganggukkan kepala. Nahhhh...., para pria! Wanita sama dengan kalian, punya hati dan perasaan. Jadi, jika kalian tidak mau diduakan, ya jangan menduakan dong! Setuju?