Kamis, 06 Agustus 2009

Burung Merak Itu Kini Terbang Tinggi

Breaking News di televisi pukul 23.00 tadi malam sungguh mengejutkan! Aku yang saat itu sudah nyaris tertidur, mendengar sayup-sayup sang reporter membacakan riwayat hidup seseorang. Seketika aku bangkit seraya melepas tanya dalam pikiran, “Siapa yang meninggal?”. Dan dalam hitungan detik, mataku tertuju pada tulisan dibawah layar yang menjadi judul liputan, WS. Rendra Meninggal Dunia.

Innaillahi wainnalillahi rojiun…
Kita (aku yakin kamupun berduka, sama seperti diriku) kembali berduka. Belum hilang rasa kaget mendengar kabar kematian Mbah Surip, kabar kematian penyair fenomenal ini pun tak kalah mengejutkan.
Sungguh tiada yang menyangka, dalam waktu kurang dari seminggu, negeri ini telah kehilangan dua putra terbaiknya. Putra terbaik yang telah memberikan inspirasi bagi banyak orang dari sudut yang berbeda.

Mbah Surip, dengan penampilan ala Bob Marley nya memberikan begitu banyak keceriaan dan kegembiraan lewat lagu-lagu yang dinyanyikannya. Penampilannya yang sederhana, lugu, dan eksentrik, dan tak pernah lepas dari tawa khasnya, seakan menjadi penawar dahaga yang menyejukkan bagi rakyat kebanyakan yang akhir-akhir ini sudah makin letih menghadapi carut marut negeri tercinta ini. Siapapun yang mendengar lagunya, atau bahkan ikut mendendangkannya, pasti akan merasa hidup ini begitu ringannya...

WS Rendra, dengan kata-katanya yang lugas, selalu membius para pembaca dan pendengarnya. Syair-syairnya selalu menyentuh hati, membakar semangat, membangkitkan idealisme, membela yang tertindas, dan menyadarkan kita untuk melihat hidup dan kehidupan ini dengan lebih melek mata, lebih bijak, dan manusiawi. Setiap katanya mengandung makna, setiap baris baitnya menyimpan maksud, setiap syairnya menggetarkan jiwa...

Kita kembali berduka. Namun kita boleh lega dan bangga, karena dua orang seniman yang bersahabat baik itu berpulang ke Surga dengan meninggalkan karya-karyanya yang luar biasa untuk kita semua. Kita masih bisa menikmatinya, dan mengenangnya sepanjang masa...


Salah satu puisi karya WS. Rendra yang menjadi favoritku,

Titipan
Karya : WS. Rendra

Seringkali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
Bahwa mobilku hanya titipan Nya,
Bahwa rumahku hanya titipan Nya,
Bahwa hartaku hanya titpan Nya,
Bahwa putraku hanya titipan Nya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
Kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titpan yang cocok dengan hawa nafsuku,
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas,
Dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua derita adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika : aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas ’perlakuan baikku’, dan menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

”Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”.