Selasa, 27 April 2010

UnderCover


Sambil menikmati ikan bakar, seorang teman baikku bercerita.
”Aku kemarin telah melakukan kebodohan”, katanya mengawali cerita.
”Saat aku dalam perjalanan pulang, tiba-tiba aku ngerasa salah satu ban mobilku kempes. Sambil tetap menjalankan mobil perlahan, aku membuka jendela berharap melihat ada tempat tambal ban. Tapi jalanan sepi, dan aku mulai takut!.” lanjutnya.
”Apalagi kemudian datang dari arah belakang seorang yang naik motor dan tampak melambai-lambaikan tangannya padaku. Dia berteriak memberi tahu kalau ban belakangku kempes. Orang itu minta aku berhenti dan menawarkan diri untuk membantuku”, katanya dengan mimik serius.

”Sekilas, aku lihat penampilannya. Berpakaian ala kadarnya, bersandal jepit, dan terlihat seperti bukan orang baik-baik. Buru-buru aku tutup jendela, dengan rasa curiga dan ketakutan yang makin menjadi. Aku berpikir dialah orang yang sengaja membuat ban mobilku bocor agar ia bisa melaksanakan niat jahatnya” katanya sambil terus mencocolkan ikan bakar ke sambal kecap di hadapannya.
”Beruntung, aku akhirnya bisa sampai di tempat keramaian. Aku segera menepi dan menghentikan mobilku. Eh, orang yang naik motor itu juga ikut berhenti dan menghampiriku. Saat itu aku sudah siaga, jika ada apa-apa aku akan berteriak sekencang-kencangnya” katanya.

Singkat cerita, akhirnya temanku mengijinkan orang yang membuntutinya itu menolong. Tentu saja setelah dia bisa mengendalikan rasa curiga dan ketakutannya.

Ia pun melanjutkan ceritanya...
“Saat ban serep selesai terpasang, aku ucapkan terimakasih sambil menyodorkan uang tiga puluh ribu. Aku berharap orang itu segera pergi. Tapi ternyata orang itu menolaknya seketika. Makin aku paksa dia menerimanya, dia makin tegas menolak!. Dan my God! kamu tahu, ternyata siapa orang itu?” katanya sambil menyorongkan mukanya ke depan.
“Orang itu memperkenalkan dirinya. Ternyata, dia adalah pemilik salah satu restoran di daerah sana! Dan aku diundangnya mampir untuk makan dan minum disitu!”, temen baikku itu mengakhiri ceritanya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.

Seketika, aku jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu.

Saat itu kantorku sedang me-launching satu cluster baru. Kami menyelenggarakan event besar yang meriah. Artis ternama ibukota, pesta kembang api, dan aneka macam makanan lezat disiapkan untuk para undangan.
Di tengah kemeriahan dan hiruk pikuk acara itu, mataku tertuju pada seorang bapak yang terlihat berdiri sendirian di depan gambar-gambar arsitektur yang terpajang. Penampilannya sangat sederhana, hanya mengenakan kaus usang dan sandal rumahan. Sangat berbeda sekali dengan penampilan para undangan lainnya, yang rapi bahkan cenderung glamour. Tak heran jika tak tampak seorangpun sales yang menemani dan memprospeknya.

Aku yang saat itu bertugas sebagai panitia, terus memperhatikan bapak tua itu dari kejauhan. Dan saat melihat ia seperti kebingungan, aku bergegas menghampirinya.
”Selamat malam pak, mungkin ada yang bisa saya bantu?”, tanyaku kala itu.
Bapak itu lalu menanyakan beberapa hal tentang proyek yang sedang dilaunching. Tidak sampai setengah jam aku memberikan penjelasan, tiba-tiba ia menarik dompet dari sakunya, mengeluarkan satu kredit card, dan menyerahkannya padaku.
”Oke, saya beli kavling tanah yang pojok dekat taman. Silahkan gesek credit card ini sebagai tanda jadi”, katanya sambil tersenyum. Sungguh, aku merasa surprais sekali!
Dan kamu tahu kawan, Bapak yang terlihat sangat sederhana itu, malam itu membeli sebuah kavling tanah senilai dua milyar!

Sebuah pelajaran berharga aku dapatkan. Jangan pernah menilai sebuah buku hanya dengan melihat sampulnya
!