Jumat, 24 April 2009

DEMOKRASI, Hanya Untuk Yang Mengerti?











(Dalam Demokrasi, setiap pendapat adalah penting dan berharga)

Aku punya kenangan manis tentang demokrasi. Saat duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, aku pernah melakukan demonstrasi bersama teman-teman sekelas. Dipimpin oleh Alvin Bakri, sang ketua kelas, yang beberapa komentarnya ada di blog-ku ini, kami berbondong-bondong mendatangi kantor Kepala Sekolah. Tapi kami datang dengan tertib dan damai. Tanpa teriakan, tanpa coretan-coretan provokatif, tanpa yel-yel, tanpa orasi. Karena kami hanya ingin menyampaikan satu tuntutan yang sangat kami mengerti, yaitu minta guru wali kelas diganti!

Ceritanya, saat itu kami sudah mendekati ujian akhir. Tapi kami merasa walikelas waktu itu tidak menyiapkan kami untuk ’siap tempur’. Backgroundnya sebagai guru kesenian membuat kami lebih sering diajari menyanyi, sementara murid-murid di kelas lainnya sibuk berlatih mengerjakan rumus-rumus pelajaran yang rumit. Sungguh kami tidak bermaksud mengecilkan kualitas walikelas kami itu, tapi kami hanya ingin menyampaikan bahwa beliau bukanlah walikelas yang tepat untuk kelas 6. Dan syukurlah saat itu juga Bapak Kepala Sekolah merespons positif aspirasi kami. Besoknya, kami mendapat walikelas baru, seorang guru muda yang energik dan berwawasan luas.

Setiap mengenang peristiwa itu, aku suka tersenyum sendiri. Ada rasa lucu dan bangga, ternyata kecil-kecil waktu itu kami sudah bisa berdemokrasi secara benar dan damai.

Sangat berbeda dengan cara berdemokrasi yang saat ini sering dilakukan. Yaitu cara-cara yang cenderung berlebihan, memaksakan kehendak, bahkan tak jarang merugikan dan membahayakan orang lain.

Sebenarnya beruntung kita hidup di negara yang menganut paham Demokrasi, sehingga kita memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berorganisasi, maupun berserikat. Bahkan kita sebagai rakyat memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan negara melalui tangan-tangan wakil kita di parlemen yang telah kita pilih sendiri. Dan Demokrasi Pancasila yang mengajarkan musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan cermin kepribadian luhur masyarakat asli Indonesia. Hal terpenting dalam demokrasi, bahwa setiap pendapat adalah berharga. Namun, sudahkah demokrasi di negeri ini berjalan sesuai azasnya? Apalagi ketika kepentingan pribadi dan golongan mulai dipandang lebih penting untuk diperjuangkan.

Meninggalnya ketua DPRD Sumatera Utara beberapa waktu lalu setelah menghadapi beringasnya para demonstran, juga menjadi salah satu fakta bahwa demokrasi di negeri ini masih sangat perlu pembinaan dan pembelajaran. Tanpa pengetahuan dan pengertian yang cukup tentang bagaimana berdemokrasi, demokrasi akan menjadi democrazy!

Lantas bagaimana dengan Pesta Demokrasi 9 April yang lalu? Sudahkah mencerminkan demokrasi yang hakiki? Melihat perkembangan suhu politik saat ini yang makin terasa seru, kita tunggu dan lihat saja bagaimana endingnya, apakah para elit politik di negeri ini telah memahami makna berdemokrasi!

Senin, 20 April 2009

Perempuan Kini, Berkarya dan Mengabdi

(dipersembahkan bagi para pengagum perempuan)

















Siang yang terik di Surabaya. Aku menghentikan laju mobil karena traffic light menyala merah. Lalu tanpa sengaja aku melihat ke kaca spion, dan mataku tertuju pada sebuah pemandangan di belakang mobilku yang bagiku menakjubkan. Seorang Ibu menggendong anaknya dengan kain yang terlihat lusuh. Di tangan kanannya terlihat setumpuk koran. Seakan tak menghiraukan garangnya matahari siang, dia berjalan dari mobil yang satu ke mobil lainnya untuk menawarkan korannya. Sesekali terlihat dia membetulkan penutup kepala anaknya, seakan tak rela jika buah hati tercintanya itu harus terpanggang kepanasan.

Tanpa aku sadari, 60 detik di traffic light itu memunculkan kekagumanku pada Ibu itu. Selintas terbersit pertanyaan dalam pikiranku, ”Kemana suaminya?” Tapi saat itu juga, pikiranku yang lain menimpali, ”Barangkali dia bekerja untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup yang kini memang makin mahal”.

Di sekitar kehidupanku pun, banyak perempuan yang tetap berkarya walau telah berkeluarga. Tuntutan biaya hidup, eksistensi diri, kebutuhan bersosialisai, adalah beberapa pertimbangan yang mungkin mendasari. Dalam perkembangannya kini, keberadaan keluarga, suami dan anak-anak tak jarang justru memberikan dorongan dan motivasi perempuan untuk berkarya. Perempuan yang hanya tahu urusan dapur, rasanya hal yang makin langka dijumpai. Perempuan kini telah berkembang menjadi sosok yang makin pintar, dewasa dan mandiri.

Apakah itu berarti perempuan modern saat ini telah meninggalkan kodratnya sebagai perempuan? Hmmm, salah besar! Perempuan adalah sosok yang kuat dan hebat. Bahkan menurut penelitian, perempuan memiliki multi talenta. Maka tak heran jika perempuan mahir mengetik komputer, sekaligus mahir memasak. Banyak perempuan yang pandai bernegosiasi urusan bisnis, tapi juga bisa jadi teman curhat yang asyik bagi buah hatinya. Perempuan juga bisa jadi pemimpin yang disegani, namun juga bisa jadi pendamping yang meneduhkan bagi pasangannya.

Kenapa juga Tuhan mengkodratkan perempuan yang melahirkan, bukan laki-laki? Barangkali karena perempuan lebih kuat berjuang dalam kesakitan, atau mungkin karena perempuan memiliki ketulusan cinta kasih yang begitu dalam hingga rela mempertaruhkan nyawanya.

Namun, perempuan juga memiliki keterbatasan. Tapi itu bukanlah sebuah kelemahan, bahkan bisa menjadi sebuah keindahan.

Sebagai seorang perempuan, kita harus bangga dan berterimakasih pada RA. Kartini, pejuang kaum perempuan. Kebesaran tekadnya telah membawa kita ke kemerdekaan seperti saat ini. Jangan pernah membuat Kartini kecewa. Kita harus tunjukkan bahwa perempuan tidak hanya sekedar singgah di dunia ini, tetapi keberadaan kita akan selalu membawa inspirasi...

Senin, 13 April 2009

Darling Harbour di Selat Madura












(Selat Madura dikala senja)
Libur long week end kemarin, aku manfaatkan untuk memenuhi ajakan seorang teman untuk mengunjungi kampung halamannya di Pamekasan, Madura.

Minggu pagi, kami berlima plus seorang driver, menuju pulau yang sebentar lagi bisa dijangkau tanpa menyeberangi lautan itu. Beruntung di pelabuhan Ujung Surabaya masih sepi, sehingga mobil kami bisa langsung masuk ke dalam kapal tanpa harus antri seperti yang
biasanya terjadi. Perjalanan melintas selat Madura itu aku manfaatkan untuk mendokumentasikan panorama yang terbentang di depan mata. Mulai dari patung Jalasveva Jayamahe yang terlihat gagah menjaga samudra, hingga hilir mudik warna warni kapal-kapal niaga yang menambah keindahan pagi itu. Puluhan kapal yang parkir di perairan pun menyajikan pemandangan yang sangat sayang jika dilewatkan. Sekilas aku jadi teringat Darling Harbour, Sidney. Hanya bedanya, disana air lautnya jernih membiru, sangat bersih, dan yang terparkir adalah kapal-kapal pesiar pribadi. Di malam hari, Darling Harbour menjadi tempat yang sangat indah dan romantis. Sedangkan di selat Madura, air lautnya bagai air sungai kecoklatan, dan banyak terlihat sampah dimana-mana.

(Darling Harbour, Sidney, Oktober, 2006)

Menyusuri pulau Madura mulai dari Pakal, Bangkalan, Sampang, dan akhirnya sampai di Pamekasan, tak banyak catatan yang terekam dalam benakku. Sepanjang perjalanan, hampir tidak ada pemandangan istimewa yang terlihat. Bahkan cenderung lengang (barangkali penduduknya banyak yang berimigrasi ke Surabaya), jumlah pemukiman penduduk tidak terlalu padat, sawah yang tak terlalu subur, udara yang panas, tak banyak bangunan-bangunan bagus.
Yang sedikit istimewa, saat masuk kawasan Sampang, kita bisa menikmati panorama laut di sepanjang sisi kanan jalan. Dan kami

sempat menyaksikan para nelayan secara gotong royong memperbaiki jaring ikan yang sangat panjang. Jaring itu digelar di sepanjang jalan, yang jika diukur kira-kira panjangnya bisa mencapai 1 kilometer.

Diantara kota-kota yang kami lewati itu, Pamekasan adalah kota terbesar dan maju.
(Selat Madura, April, 2009)
Terlihat dari luas kotanya serta bangunan-bangunan rumah dan fasilitas yang berdiri disana. Masyarakatnya pun terlihat lebih modern, dan sepertinya memiliki daya beli yang lebih baik.

Seharian berkeliling pulau Madura, ada satu hal yang sangat menggelitik pikiranku. Mau tahu? Ternyata, di Madura gak ada soto Madura! Tentu saja aku kecewa berat, karena sejak berangkat sudah
membayangkan lezatnya soto asli Madura.
Maka untuk membayar kekecewaan itu, hanya satu keinginanku sesampainya di Surabaya, makan soto Madura! Nah lho?!
Beberapa hasil bidikanku lainnya :






Penjaga Samudra - Patung Jalasveva Jayamahe






Siapa Tercepat?
Terbesar vs Terkecil
Teetttt.... minggirrrr!!!!