Minggu, 22 Februari 2009

Heboh Batu Ajaib Ponari, Potret Ketidakberdayaan Masyarakat Miskin

Siapa yang tak mengenal Ponari? Bocah kecil dari dusun Kedungsari, Jombang, Jawa
Timur, itu telah menghebohkan seantero negeri ini.
Heboh bukan hanya karena ia punya ’batu ajaib’ yang konon bisa menyembuhkan segala penyakit. Banyak hal lainnya yang mengikuti peristiwa ini menjadi makin menarik perhatian. Jumlah pasien yang konon mencapai 10.000 ribu orang per hari, jumlah sumbangan sukarela yang konon sudah mencapai ratusan juta rupiah, hingga jatuhnya korban tewas akibat berdesakan demi mencari kesembuhan lewat khasiat batu ajaib itu.

Namun dibalik segala kehebohan ‘batu ajaib’ milik Ponari, ada satu kenyataan yang membuat hati miris. Kenyataan bahwa keyakinan yang sangat kuat akan keampuhan batu itu telah mengalahkan akal sehat. Ribuan orang rela berdesakan, berhimpitan, kehujanan dan harus berkubang lumpur, demi sebuah harapan pada seonggok batu. Sungguh naïf, di era yang serba digital sekarang ini, cerita yang berbau klenik dan mistis ternyata masih memiliki daya pikat yang luar biasa. Benarkah batu yang konon diperoleh dari sambaran petir itu memang batu ajaib? Benarkah batu itu mampu menyembuhkan segala penyakit?

Aku hanya bisa melihat ‘legenda’ Batu Ajaib Ponari dari sisi yang lain. Dari sisi yang dapat terlihat jelas oleh mata hatiku. Yakni sebuah realita bahwa begitu banyaknya masyarakat miskin yang membutuhkan pengobatan dan penyembuhan. Dan jika dalam kenyataan hidup di negeri yang kita cintai ini kesehatan adalah sebuah kemewahan, maka kehebohan batu ajaib Ponari bisa jadi merupakan puncak dari ketidakberdayaan rakyat kecil untuk mendapatkan kesehatan.
Kenyataan mahalnya harga obat, tingginya biaya rumah sakit, mahalnya ongkos Dokter, serta minimnya fasilitas dan pelayanan kesehatan membuat golongan kurang beruntung ini makin terhimpit dan tak berdaya.
Liputan berbagai media, terutama televisi, secara gamblang telah menyajikan gambar-gambar fakta yang membuat hati trenyuh. Yang membuat makin miris, saat menyaksikan seorang pasien nekat meminum air hujan yang tertampung di atas atap terpal rumah Ponari. Sebuah realita yang sangat jauh dari rasional. Bahkan mulai menggerus iman.
Ketika praktek ‘dukun cilik’ Ponari ditutup pasca adanya korban meninggal, masyarakat yang sudah antri untuk berobat itu pun marah. Barangkali dengan penutupan praktek Ponari mereka merasa harapan hidupnya telah dirampas, harapan yang mungkin bagi mereka harapan terakhir. Meski, harapan itu harus digantungkan pada seonggok batu!

Realita yang memprihatinkan itu, sekali lagi, adalah cerminan dari ketidakberdayaan bahkan keputusasaan warga miskin yang belum tersentuh fasilitas kesehatan.
Ada satu pertanyaan besar yang mengganggu pikiranku kini. Kenyataan bahwa kemiskinan seringkali menjadi penghalang bagi sebuah kesembuhan, kenyataan tak terjangkaunya biaya pengobatan, lantas salahkah jika mereka, rakyat miskin itu, menaruh harapan pada batu ajaib Ponari? Adakah pilihan yang lebih baik bagi mereka selain batu ajaib milik Ponari? Barangkali hanya para petinggi di negeri ini yang bisa menjawabnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar