Senin, 20 April 2009

Perempuan Kini, Berkarya dan Mengabdi

(dipersembahkan bagi para pengagum perempuan)

















Siang yang terik di Surabaya. Aku menghentikan laju mobil karena traffic light menyala merah. Lalu tanpa sengaja aku melihat ke kaca spion, dan mataku tertuju pada sebuah pemandangan di belakang mobilku yang bagiku menakjubkan. Seorang Ibu menggendong anaknya dengan kain yang terlihat lusuh. Di tangan kanannya terlihat setumpuk koran. Seakan tak menghiraukan garangnya matahari siang, dia berjalan dari mobil yang satu ke mobil lainnya untuk menawarkan korannya. Sesekali terlihat dia membetulkan penutup kepala anaknya, seakan tak rela jika buah hati tercintanya itu harus terpanggang kepanasan.

Tanpa aku sadari, 60 detik di traffic light itu memunculkan kekagumanku pada Ibu itu. Selintas terbersit pertanyaan dalam pikiranku, ”Kemana suaminya?” Tapi saat itu juga, pikiranku yang lain menimpali, ”Barangkali dia bekerja untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup yang kini memang makin mahal”.

Di sekitar kehidupanku pun, banyak perempuan yang tetap berkarya walau telah berkeluarga. Tuntutan biaya hidup, eksistensi diri, kebutuhan bersosialisai, adalah beberapa pertimbangan yang mungkin mendasari. Dalam perkembangannya kini, keberadaan keluarga, suami dan anak-anak tak jarang justru memberikan dorongan dan motivasi perempuan untuk berkarya. Perempuan yang hanya tahu urusan dapur, rasanya hal yang makin langka dijumpai. Perempuan kini telah berkembang menjadi sosok yang makin pintar, dewasa dan mandiri.

Apakah itu berarti perempuan modern saat ini telah meninggalkan kodratnya sebagai perempuan? Hmmm, salah besar! Perempuan adalah sosok yang kuat dan hebat. Bahkan menurut penelitian, perempuan memiliki multi talenta. Maka tak heran jika perempuan mahir mengetik komputer, sekaligus mahir memasak. Banyak perempuan yang pandai bernegosiasi urusan bisnis, tapi juga bisa jadi teman curhat yang asyik bagi buah hatinya. Perempuan juga bisa jadi pemimpin yang disegani, namun juga bisa jadi pendamping yang meneduhkan bagi pasangannya.

Kenapa juga Tuhan mengkodratkan perempuan yang melahirkan, bukan laki-laki? Barangkali karena perempuan lebih kuat berjuang dalam kesakitan, atau mungkin karena perempuan memiliki ketulusan cinta kasih yang begitu dalam hingga rela mempertaruhkan nyawanya.

Namun, perempuan juga memiliki keterbatasan. Tapi itu bukanlah sebuah kelemahan, bahkan bisa menjadi sebuah keindahan.

Sebagai seorang perempuan, kita harus bangga dan berterimakasih pada RA. Kartini, pejuang kaum perempuan. Kebesaran tekadnya telah membawa kita ke kemerdekaan seperti saat ini. Jangan pernah membuat Kartini kecewa. Kita harus tunjukkan bahwa perempuan tidak hanya sekedar singgah di dunia ini, tetapi keberadaan kita akan selalu membawa inspirasi...

1 komentar:

  1. Mungkin tidak hanya Kartini yang kita punya tapi masih banyak lagi kita punya seperti Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, Nyi Ageng Serang, HR Rasuna Said dll. Mereka berjuang dengan caranya sendiri, sehingga kita tak boleh melupakan mereka. Jujur perjuangan mereka yang sekarang hidup ini mungkin lebih berat bebannya, dengan ada anak dan suami tak punya. Aku senang atas keprihatinanmu melihat situasi, berarti kamu lebih peka terhadap keadaan. Atas dasar tersebut aku bangga terhadap kamu, karena pondasinya ada dalam diri seorang Anita Untoro. Berarti kamu orang yang bijak, dapat bercermin dangan masalah yang terlihat pada saat itu.
    Tapi kalau boleh aku usul, sekiranya ada yang bisa kita perbuat terhadap mereka. Misalnya kita serukan kepada mereka yang punya kelebihan bisa kasih pencerahan. Awalnya dari diri kita dulu, karena kemarin kita lihat dimedia elektronik, membaca surat khabar dan mendengar berita radio. Bahwa banyak sebahagian anak Adam berebut kekuasaan dangan menghabiskan dana yang cukup besar demi ambisinya sendiri. Tanpa melihat, mendengar dan merasakan penderitaan manusia yang berjuang untuk kehidupan sehari - harinya. Mudah - mudahan kita tidak termasuk dalam ambisius mereka, yang hanya berpikir untuk kepentingan priuknya sendiri. Dulu aku pernah meliput di pasar induk Cipinang, di tempat ini aku melihat seorang nenek yang sedang mngumpulkan beras - beras berjatuhan dari para pedagang. Dengan menyapu pakai sapu lidi dikumpulkanlah semua beras yang berjatuhan. Setelah terkumpul lumayan banyak, dibawa pulang dan ditaruh dalam kain gendongannya. Kemudian aku wawancara si nenek itu, dia ngomong bahwa beras ini tidak untuk dijual lagi namun untuk makan bersama cucunya. Jujur aku bingung saat itu mana yang harus aku dahulukan menolong orang atau pekerjaan jurnalistikku. Aku terdiam sejenak sambil berdoa mohon petunjuk dari ALLAH swt, dan jawabannya aku harus mengantarkan beliau pulang. Dari situ aku makin kaget ternyata rumahnya sangat jauh, terus terang aku terharu bercampur bangga. Seorang nenek melakukan itu demi cucunya agar dapat makan. Kemudian aku urungkan niat untuk meliput dan membantu nenek tersebut. Dalam benakku pada saat itu sekiranya membantu orang lebih dahulu dari pekerjaanku. Tapi keesokan harinya aku membuat janji dengan nenek agar bisa membuat liputan profile tentang dirinya. Ya..... itulah hidup, makanya kita tidak boleh menyia - nyiakan orang disekitar kita.

    BalasHapus