Senin, 30 November 2009

Lelaki Itu Membuatku Menitikkan Air Mata



Menunggu beberapa jam saat esok hari tiba begitu menggelisahkan. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan lelaki yang hanya kukenal dari suaranya itu. Beragam tanya memenuhi kepala. Benarkah besok ia akan menemuiku sesuai janjinya? Seperti apakah dia? Masih muda, atau seorang lelaki tua? Benarkah dia orang baik dan bisa dipercaya? Tidakkah dia hanya basa-basi yang kemudian akan menghilang? Aku hanya berharap dan terus berdoa…

Saat yang kunanti pun tiba. Aku datang tepat waktu, meski sebelumnya harus beberapa kali tersasar mencari tempat yang lelaki itu tentukan, sebuah Gereja Katolik di desa kecil bernama Krian, sekitar satu jam dari kota Surabaya.
Gereja itu terlihat lengang, sepi! Tak terlihat seorangpun di halaman gereja, tidak juga di setiap sudutnya. Baru setelah aku masuk agak kedalam, terlihat seorang pria muda sedang berbicara dengan empat anak remaja di salah satu ruangan. Sepertinya mereka sedang berdiskusi tentang sesuatu.

Aku menghampiri mereka, dan mengatakan ingin menemui seseorang yang telah berjanji menungguku di gereja itu. Aku sebutkan sebuah nama. Dan betapa kecewanya aku, saat pria muda itu menjelaskan tidak pernah mendengar dan mengenal nama yang kusebutkan.
”Sudahlah Anita, jangan berharap lagi. Relakan saja, meski itu sangat berarti bagimu. Jaman sekarang, mana ada orang yang memiliki kejujuran dan ketulusan seperti yang kamu yakini ada pada lelaki itu” bisik salah satu sisi hatiku. Namun sisi hatiku yang lain meyakinkan aku bahwa lelaki itu benar-benar orang yang jujur. Aku lalu mencoba menghubunginya lagi lewat handphone.

Tiga kali panggilanku tak terjawab. Aku mulai putus asa. Akupun bersiap melangkah pulang dengan harapan yang terbang melayang. Namun, aku mencoba meneleponnya kembali...
”Ya, saya sudah di gereja Krian!” terdengar suara lelaki itu menjawab teleponku.
Deg! Hatiku berdesir. Benarkah?
Aku mengitarkan pandanganku kesekeliling gereja, hingga akhirnya mataku tertuju pada sosok lelaki yang tergopoh-gopoh memasuki halaman.

”Maaf saya terlambat!” ucapnya dengan wajah berbinar. Disekanya peluh yang mengalir di pipinya yang legam, sambil tangannya mengipasi wajahnya yang terlihat kepanasan. ”Ini barangnya, Mbak. Saya menemukannya di pinggir jalan, dan saya menyimpannya hingga Mbak menelepon ke nomor handphone ini” ceritanya dengan senyum tulus yang terus terpancar.
”Wahhh... terimakasih sekali pak. Handphone ini sangat berarti bagi saya, karena ratusan nama dan nomer penting ada disini. Untung ada orang baik seperti Bapak yang menemukannya”, kataku seraya menepuk pundak tuanya.

”Gak apa-apa, dibawa saja Mbak. Silahkan...silahkan....”, kata laki-laki itu seraya menyerahkan sebuah handphone kepadaku, masih dengan senyum dan wajah berbinarnya. Jelas sekali ada kejujuran dan ketulusan di hatinya.

Seketika itu ada sesuatu yang mengalir sejuk dalam rongga dadaku. Sesuatu yang melegakan, sangat meneduhkan....

“Bapak punya telepon yang bisa saya hubungi, barangkali suatu saat saya lewat sini saya bisa bertemu Bapak lagi?” tanyaku.
“Ada...ada.. Mbak!” jawabnya sambil merogoh kantong bajunya.
Dan ya Tuhan, ia mengeluarkan sebuah benda kecil yang terbungkus plastik kumal yang diikat erat dengan karet gelang. Dibukanya ikatan dan pembungkusnya dengan sangat hati-hati seolah didalamnya ada benda yang sangat berharga. Tak lama terlihat olehku sebuah handphone kecil usang. Ia lalu dengan bangga menunjukkannya padaku, sambil menyebutkan nomornya.

Hari itu, seorang lelaki tua bernama Pak Yatman, memberiku inspirasi dan pelajaran hidup yang amat berharga. Ia hanyalah seorang tukang becak yang sangat sederhana. Barangkali penghasilannya hanya cukup untuk makan hari itu saja bagi dia dan keluarganya. Terlihat ia sangat girang saat menerima beberapa lembar rupiah dariku sebagai ucapan terimakasih. Namun kekayaan hati dan jiwanya sungguh luar biasa.

Pak Yatman, ia menemukan handphone ku yang terjatuh tanpa sengaja saat aku melakukan perjalanan dari Surabaya menuju Trawas. Dan ia memilih untuk menyimpan dan mengembalikannya padaku, dibanding memilikinya atau bahkan menjualnya.

Kawan, terimakasih kamu telah membaca tulisanku ini hingga disini. Karena dengan begitu, kalian semua bisa ikut mengenal sosok Pak Yatman yang mengagumkan itu.
Sungguh menyejukkan hati, saat ketulusan dan kejujuran menjadi hal yang kian langka, aku justru menemukannya pada diri Pak Yatman. Sungguh beruntung dan bersyukurnya aku bisa mengenal Pak Yatman, seorang yang kaya raya hati dan budinya. Air mataku pun sempat menitik mengaguminya...



















(Pak Yatman, my inspiration)





Kamis, 05 November 2009

Pay it Forward! Merangkai Rantai Kebaikan.


Pernah nonton film ini? Film produksi tahun 2000 an yang menurutku sangat sederhana namun luar biasa. Pay it Forward! Sebuah ide orisinil dari seorang anak berumur sebelas tahun yang bisa merubah dunia. Tiba-tiba saja aku teringat film ini, saat dalam obrolan ringan makan siang, seorang teman mengajak diskusi tentang bagaimana hidup itu harus bisa membawa manfaat bagi orang lain (uffffhh….! Ini sih bukan obrolan ringan, justru dalem bangeetttt).

Film yang disutradarai oleh Mimi Leder itu bercerita bagaimana kebaikan dapat dirangkai menjadi rantai yang tak terputus yang dapat dirasakan oleh banyak orang, bahkan bukan mustahil oleh seluruh manusia di dunia ini.
Pay it Forward alias Bayar di Muka, lahir dari pemikiran sejati Trevor, seorang murid sekolah dasar yang diberi tugas oleh gurunya untuk membuat ide yang dapat merubah dunia. Trevor mempresentasikan idenya, bahwa kita dapat membuat rantai kebaikan yang tak terputus jika kita tak berharap balas budi atas kebaikan yang pernah kita lakukan.

Caranya sederhana, Trevor memilih 3 orang untuk ditolongnya. Salah satunya seorang gelandangan yang kemudian diberinya makan dan pakaian. Saat gelandangan itu bilang terimakasih dan bertanya bagaimana membalas budinya, Trevor hanya menjawab “Pay it Forward” dan minta gelandangan itu untuk membalas budi dengan cara berbuat baik/menolong 3 orang yang lainnya. Kemudian gelandangan itu mencuci mobil Ibu Trevor tanpa diminta, dan Ibu Trevor membalas budi dengan melakukan Pay it Forward dengan mengunjungi ibunya (nenek Trevor) yang selama ini kurang diperhatikannya. Hubungan keduanya kemudian membaik.
Nenek Trevor yang bahagia kemudian menolong seorang pemuda yang sedang tertimpa masalah. Saat pemuda itu bertanya harus membalas dengan apa, sang nenek itu hanya menjawab “Pay it Forward”.
Lalu pemuda itu menolong seorang gadis kecil dengan merelakan kartu antriannya di rumah sakit sehingga gadis itu dapat giliran lebih awal. Bapak sang Gadis yang ternyata seorang kaya raya merasa sangat terkesan dengan kebaikan pemuda itu dan ingin membalas budi. Namun si pemuda menolaknya dan hanya berkata, “Pay it Forward”. Dalam perjalanan, sang Bapak melihat seseorang mobilnya mogok di pinggir jalan. Iapun menolongnya dengan memberikan mobil jaguarnya kepada orang tak dikenalnya itu, sambil berkata, “Pay it Forward!”. Dan ternyata orang tersebut adalah seorang jurnalis televisi. Karena rasa penasarannya, iapun menyelidiki apa dan darimana asal usul ‘Pay it Forward’. Dia pun meruntut mundur semua rangkaian peristiwa hingga ia bisa menemukan Trevor sebagai penggagasnya. Sayang, saat Pay it Forward mulai dikenal banyak orang, Trevor meninggal dunia. Ribuan orang yang telah merasakan kebaikan dan pertolongan dari rantai Pay it Forward pun berduka. Dan Trevor kini dikenang sebagai bocah kecil luar biasa yang telah merubah dunia.

Kebaikan memang selayaknya dibalas dengan kebaikan. Namun jika kita telah berbuat kebaikan, sungguh mulia jika kita tidak berharap balas budi darinya, melainkan menginginkan kebaikan itu diteruskan ke orang yang lainnya. Jika kita semua bersama-sama melakukan ’aksi’ Pay it Forward seperti itu, hmmm.. betapa indah dan panjangnya rantai kebaikan yang bisa dirangkai. Apalagi dalam kondisi negeri kita yang serba carut marut seperti saat ini. Dan, aku yakin, suatu saat rantai kebaikan itu pasti akan kembali pada diri kita, entah kapan dan entah bagaimana proses dan wujudnya nanti.

Nah kawan, tunggu apalagi? Cobalah lihat di sekeliling kita... Kita bisa mulai memilih siapa yang akan kita tolong dan kita berikan kebaikan. Tidak penting berapa jumlah orangnya, yang terpenting adalah kita bersama-sama mulai menggulirkan satu kebaikan dan menjadikannya rantai panjang yang tak terputus... Dan, bayangkan apa yang akan terjadi!



Kamis, 29 Oktober 2009

Andai Poliandri Dibolehkan, Maukah Para Pria Dipoliandri?



Sejak diberitakan terbentuknya Club Poligami, ‘tema’ Poligami makin favorit menjadi perbincangan dan perdebatan. Masalah sensitif antar gender itu sampai kapanpun mungkin akan tetap menjadi kontraversi yang tak berkesudahan.

Poligami memang dibolehkan dalam Islam, dengan syarat MAMPU ADIL. Lantas, ADIL yang bagaimana yang disyaratkan itu? Adil, menurut kamus Bahasa Indonesia berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak. Adil dalam ilmu akuntansi sama dengan balance, yang artinya seimbang. Seorang akuntan tidak akan meng-closed Neraca nya jika ada selisih walau satu rupiah pun pada account pasiva dan aktiva, karena Neraca itu mutlak harus balance, seimbang!. Adil dalam ilmu sipil atau arsitektur barangkali identik dengan presisi, yang artinya tepat, tidak boleh kurang juga tidak boleh lebih. Untuk mencapai presisi diperlukan perhitungan dengan ketelitian tingkat tinggi, karena meleset sedikit saja dapat berpengaruh pada struktur bangunan.

Lantas, jika Adil yang disyaratkan untuk berpoligami itu benar artinya adalah sama berat, seimbang, tepat, mampukah manusia melakukannya?
Kita bukan malaikat, bukan juga Rosul. Kita hanyalah manusia biasa yang punya akal pikiran, akal budi, perasaan, hati, dan naluri. Kita hanyalah manusia biasa yang juga punya ambisi, emosi, napsu, dan ego pribadi. Dan semuanya itu yang mempengaruhi kehidupan kita, bahkan dalam setiap helaan napas dan jejak langkah kita.
Dengan segala aset pribadi yang melekat itu, kira-kira mampukah manusia (kaum pria) melakukan adil dalam berpoligami? Hmmm... rasanya perlu perenungan mendalam untuk mendapatkan kejujuran semurni embun pagi. Dan.... kejujuran itu hanya dimiliki oleh hati nurani!

Bicara soal kejujuran, ada kenyataan menarik yang kamu semua perlu tahu. Singkat cerita, aku tanpa sengaja telah melakukan survey informal berkaitan dengan poligami. Caranya, dalam setiap kesempatan diajak ngobrol soal poligami, satu pertanyaan yang tak pernah aku lewatkan aku tanyakan para teman pria adalah, ”Andai poliandri dibolehkan, maukah kamu dipoliandri?” Jawabannya adalah : seratus persen mereka menjawab ”TIDAK”. Dan aku selalu lanjut bertanya, ”Kenapa?” Untuk pertanyaan kali ini mayoritas mereka hanya diam, entah tak ingin menjawab atau tak kuasa menjawab. Biasanya, aku yang melanjutkan dengan kalimat seperti ini, ”Kamu nggak perlu menjawab, karena aku rasa aku tahu jawabannya. Kamu tidak mau di-poliandri karena kamu nggak mau berbagi cinta. Kamu tidak mau diduakan. Kamu ingin memiliki dan dimiliki seutuhnya. Benar begitu?” Bisa dipastikan para pria itu akan tersenyum sambil menganggukkan kepala. Nahhhh...., para pria! Wanita sama dengan kalian, punya hati dan perasaan. Jadi, jika kalian tidak mau diduakan, ya jangan menduakan dong! Setuju?

Kamis, 22 Oktober 2009

Siapa Presidennya, Pentingkah?



Gimana menurut kamu? Siapa yang jadi Presiden, pentingkah? Mustinya penting dong ya! Kalau tidak, kenapa musti ada Pemilu yang ribet dan mahalnya minta ampun itu. Mustinya penting, karena Presiden yang punya hak untuk memilih para menteri. Mustinya penting, karena para menteri itulah yang akan dominan menggerakkan roda operasional negara.

Jadi, siapa Presidennya, pentingkah?
Mustinya penting, karena negeri ini masih carut marut oleh berbagai masalah lama yang seolah tiada berakhir. Korupsi, kemiskinan, pengangguran, hutang, dan masalah lainnya yang perlu untuk ditangani serius dan diselesaikan! Penting bagi kita punya seorang Presiden yang visioner yang punya integritas tinggi, punya kompetensi komplet, punya wawasan global, punya naluri membumi, dan yang terpenting punya kesadaran bahwa dia dipilih atas amanah rakyat, bukan oleh orang atau golongan.

Jadi, siapa Presidennya, pentingkah?
Mungkin tidak penting, jika rakyat kebanyakan tidak merasakan perubahan apa-apa! Jika ternyata pendidikan masih mahal, jika kesehatan masih sebuah kemewahan, jika untuk makan hari ini saja masih harus mencari entah kemana, jika korupsi masih meraja, jika..... rakyat masih merasa tak berdaya!

Jadi siapa Presidennya, pentingkah?
Kita tidak harus menjawabnya sekarang!

Selasa, 13 Oktober 2009

Teman, Bertemanlah!


Salah satu headline di harian Jawa Pos menulis sebuah judul besar hari ini : Cegah Depresi Dengan Bergaul. ”Hmmm... menarik banget!”, pikirku. Apa karena aku lagi depresi? Hahaha... rasanya enggak! Justru karena saat ini aku sedang memiliki lingkungan pergaulan yang amat menyenangkan. Lantas, apa menariknya dong?

Tahukah kamu, bahwa WHO memprediksi di tahun 2020 penyakit kesehatan jiwa menjadi penyakit yang paling banyak diderita oleh kaum perkotaan? Dan tahukah kamu, kalau indikator menurunnya kesehatan mental warga perkotaan di Metropolis kini mulai tampak? Meningkatnya kriminalitas, makin tingginya kasus KDRT, narkoba, bunuh diri, adalah cerminan dari tekanan hidup di perkotaan.

Hari ini, aku membaca di detik.com, bahwa seorang perempuan Indonesia penakluk mount Everest saat ini sedang dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Magelang karena mengalami gangguan jiwa akibat depresi berkepanjangan. Perempuan yang masih punya obsesi untuk menaklukkan 4 puncak gunung lagi itu selama ini merasa tidak mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Jiwanya pun menjadi terganggu!

Hari ini pula, sebuah headline utama harian Surya menulis dengan huruf besar : Ibu Ajak Bayinya Gantung Diri!
Jadi teringat berita beberapa waktu yang lalu, tentang seorang Ibu yang mengajak bunuh diri 2 orang anaknya karena merasa tidak ada kepastian dengan masa depannya. Padahal Ibu tersebut adalah seorang Insinyur dari sebuah universitas terkemuka di Bandung. Dan tragisnya, 2 anaknya tewas, sedang dirinya gagal bunuh diri!

Huhhhhh! Sudah demikian beratnyakah tekanan dalam hidup dan kehidupan ini?
Dan haruskah kita memikulnya sendiri?

Menurut dr. Nalini Muhdi SpKJ(K), ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Surabaya, janganlah pernah ragu untuk keluar rumah. Bergaul dengan teman dan sesama dapat menciptakan interaksi sosial di luar rutinitas. Lakukanlah hobby atau aktivitas lainnya yang menyenangkan, karena hal ini dapat menjadi cara yang efektif untuk menurunkan tingkat depresi seseorang.

Nah teman, bertemanlah! Sekedar menelepon untuk bilang ’hay’, atau ngobrol sambil ngopi bersama seorang teman bisa jadi akan memberi kita inprasi. Jangan pernah merasa sendirian. Dan jangan pernah merasa hidup ini berat. Bukankah hidup ini memang harus diperjuangkan?

Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Gede Prama, penulis dan motivator yang religius itu, bahwa energi itu netral! Yang menjadikan energi itu menjadi energi positif atau negatif adalah tergantung bagaimana cara kita memandang suatu persoalan. Jika kita berpikir positif, maka energi akan menjadi energi positif. Demikian sebaliknya! Nah, semuanya tergantung kita, kan?

Kamis, 06 Agustus 2009

Burung Merak Itu Kini Terbang Tinggi

Breaking News di televisi pukul 23.00 tadi malam sungguh mengejutkan! Aku yang saat itu sudah nyaris tertidur, mendengar sayup-sayup sang reporter membacakan riwayat hidup seseorang. Seketika aku bangkit seraya melepas tanya dalam pikiran, “Siapa yang meninggal?”. Dan dalam hitungan detik, mataku tertuju pada tulisan dibawah layar yang menjadi judul liputan, WS. Rendra Meninggal Dunia.

Innaillahi wainnalillahi rojiun…
Kita (aku yakin kamupun berduka, sama seperti diriku) kembali berduka. Belum hilang rasa kaget mendengar kabar kematian Mbah Surip, kabar kematian penyair fenomenal ini pun tak kalah mengejutkan.
Sungguh tiada yang menyangka, dalam waktu kurang dari seminggu, negeri ini telah kehilangan dua putra terbaiknya. Putra terbaik yang telah memberikan inspirasi bagi banyak orang dari sudut yang berbeda.

Mbah Surip, dengan penampilan ala Bob Marley nya memberikan begitu banyak keceriaan dan kegembiraan lewat lagu-lagu yang dinyanyikannya. Penampilannya yang sederhana, lugu, dan eksentrik, dan tak pernah lepas dari tawa khasnya, seakan menjadi penawar dahaga yang menyejukkan bagi rakyat kebanyakan yang akhir-akhir ini sudah makin letih menghadapi carut marut negeri tercinta ini. Siapapun yang mendengar lagunya, atau bahkan ikut mendendangkannya, pasti akan merasa hidup ini begitu ringannya...

WS Rendra, dengan kata-katanya yang lugas, selalu membius para pembaca dan pendengarnya. Syair-syairnya selalu menyentuh hati, membakar semangat, membangkitkan idealisme, membela yang tertindas, dan menyadarkan kita untuk melihat hidup dan kehidupan ini dengan lebih melek mata, lebih bijak, dan manusiawi. Setiap katanya mengandung makna, setiap baris baitnya menyimpan maksud, setiap syairnya menggetarkan jiwa...

Kita kembali berduka. Namun kita boleh lega dan bangga, karena dua orang seniman yang bersahabat baik itu berpulang ke Surga dengan meninggalkan karya-karyanya yang luar biasa untuk kita semua. Kita masih bisa menikmatinya, dan mengenangnya sepanjang masa...


Salah satu puisi karya WS. Rendra yang menjadi favoritku,

Titipan
Karya : WS. Rendra

Seringkali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
Bahwa mobilku hanya titipan Nya,
Bahwa rumahku hanya titipan Nya,
Bahwa hartaku hanya titpan Nya,
Bahwa putraku hanya titipan Nya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
Kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titpan yang cocok dengan hawa nafsuku,
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas,
Dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua derita adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika : aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas ’perlakuan baikku’, dan menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

”Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”.

Senin, 13 Juli 2009

Aku Telah Belajar

Ada yang menggelitik hatiku saat, lagi-lagi, mengabadikan moment nyata kehidupan para nelayan di kota Banyuwangi ini. Sebuah kenyataan hidup yang barangkali selama ini tersembunyi atau bahkan terlupakan.

Aku telah belajar satu hal dari kehidupan para nelayan ini. Belajar bahwa tidak semua hasil yang kita perjuangkan selalu sesuai dengan harapan.

Aku telah belajar tentang satu hal, bahwa saat rejeki berlimpah, jangan habiskan! Karena esok mungkin rejeki kita berkurang atau bahkan tak cukup.

Aku telah belajar tentang satu hal, bahwa saat rejeki sedang kurang, jangan putus asa! Karena esok mungkin rejeki kita akan bertambah, atau bahkan berlebih.

Roda kehidupan akan terus berputar. Jangan pernah lengah atau menyerah saat kita berada pada salah satu sisinya....


1-1-2009,
Para nelayan ini merapat ke pantai dengan wajah ceria, seakan ingin menyapa pagi pertama di tahun 2009 dengan hati berbunga. Letih semalaman menghabiskan waktu di tengah lautan terhapus oleh rasa syukur karena membawa pulang hasil tangkapan yang berlimpah.
Akankah esok mereka kembali mendapatkan rejeki sebagus hari ini?


































7-7-2009,

Barangkali ini bukan pertamakali para nelayan ini pulang tanpa hasil.

Jala yang mereka tebar di tengah lautan, ternyata lebih banyak menangkap sampah daripada ikan.

Tentu, esok hari mereka tetap akan kembali ke laut. Karena bagi mereka, kegagalan hari ini bisa berarti keberuntungan untuk esok hari!